This is me |
Suatu saat yang lalu (1)
”Lhah kowe saiki ngajar?”, tanya salah
seorang kerabat
”Mboten, teng griyo mawon.” jawabku
”Neng omah wae? Nggur thenguk-thenguk
ngono?”
”Nggih, bulek.” jawabku
Suamiku memotong, ”Nggih mboten, Elly
nggih dagang kecil-kecilan, mboten thenguk-thenguk mawon kok.”
Suatu saat
yang lalu (2)
”Oooo jadi
jenengan lulusan S2 to?” Tanya seorang
tetanggaku
“Iya, Bu.” jawabku
”Trus sekarang aktifitasnya apa?”
”Ya di rumah saja.”
” Di rumah aja? Gak ada aktifitas lain?”
”Kalo aktifitas lainnya itu dianggap
pekerjaan formal, saya memang ndak punya, saya juga ndak punya gaji seperti
yang biasa jenengan terima dari tempat kerja jenengan. Tapi, kalo aktifitas
lainnya itu adalah bukan yang bernama pekerjaan formal, maka aktifitas saya
banyak.”
”Oooo”, kalimat penutup yang ia katakan.
Suatu saat yang lalu (3)
”Wah Bu Ulin ternyata udah lulus S2 ya?”
”Iya, Bu, alhamdulillah.”
”Lhah kenapa gak kerja aja? Sayang loh
duitnya udah banyak dikeluarin tapi ndak dipake ijazahnya.”
”Alhamdulillah saya ndak keluar uang
banyak karena dulu dapat beasiswa. Alhamdulillah juga dulu sambil kuliah masih
bisa kerja paruh waktu, jadi buat makan sehari-hari masih tercukupi.
Alhamdulillah juga waktu nikah suami saya ndak minta ijazah sebagai syarat
untuk mau menikahi saya. Ijazah saya ada bu di lemari, saya simpan rapi,
dilaminating, udah ada legalisirnya juga. Berhubung pelanggan saya belum ada
yang minta lihat ijazah saya, jadi ya ndak pernah dikeluarin lagi. Ibu mau
lihat?”
Aku hidup di tengah keluarga dimana Ibu
dan Bapakku adalah seorang pekerja, lebih tepatnya mereka adalah seorang guru.
Bapak adalah guru SMA dan Ibuku adalah guru SD. Aku sangat terbiasa melihat
kesibukan Ibu dan Bapak tiap pagi sebelum berangkat mengajar. Bapak bukan tipe
suami yang ongkang-ongkang kaki membiarkan istrinya sibuk sendiri. Saat Ibuku
memasak, Bapaklah yang memandikan aku dan adik laki-lakiku, memakaikan baju,
menyisir rambut kami, menyuapi kami, dan menyiapkan keperluan sekolah kami.
Selesai memasak, Ibu mandi, berdandan, dan segera berangkat diantar Bapak
menggunakan sepeda motor. Aku dan adikku pergi ke sekolah dan ketika pulang
seringkali tak mendapati Ibu sudah berada di rumah. Ganti baju sendiri sekaligus mengganti baju
adik, makan sendiri, dan kemudian berlari keluar untuk bermain. Sering juga terkunci
karena Ibu lupa menitipkan kunci hingga kami harus numpang ngadem sebentar di
tetangga sebelah sampai Ibu datang. Begitulah setiap hari, aktifitas rutin itu
kami lewati, kecuali ketika hari Minggu, waktunya libur dan itu berarti
waktunya kami bisa menghabiskan waktu seharian bersama Ibu dan Bapak.
Kelas 2 SMA, usiaku tepat 17 tahun dan aku
sudah mulai semi mandiri. Tak lain karena aku diminta membantu mengajar bahasa
Inggris di tempat lesku. Senangnya bukan main dan tentu bangga karena tidak
banyak teman-temanku yang punya pekerjaan paruh waktu sepertiku. Tiap bulan aku
bisa mengantongi uang honor Rp. 50.000 –
Rp. 100.000,- tergantung jumlah kelas yang aku ajar. Di tahun 2000, uang sebanyak
itu tentu jumlahnya cukup besar bagi seorang pelajar SMA sepertiku. Uang itu
aku tabung supaya nanti waktu kelas 3, aku bisa ikut bimbingan belajar di
Surabaya, seperti teman-temanku yang notabene orang tuanya lebih berpunya
daripada orang tuaku.
Ketika sampai usiaku yang ke 18 tahun, aku
menamatkan pendidikan menengah atasku. Tak ada cita-cita lainnya kecuali masuk
perguruan tinggi melalui jalur PMDK, tanpa tes, dan nanti ketika lulus, aku
akan menjadi seorang wanita karir, sama persis seperti ibuku. Kemudian bertemu
jodohku, punya anak, bekerja, dan menitipkan anakku ke seorang ART. Aku tak heran
bila dulu hanya itu yang aku inginkan karena contoh nyataku adalah kehidupan
rumah tangga orangtuaku. Bayangan akan masa depanku itu bertahan hingga aku
lulus kuliah.
Selepas kuliah S1, aku sempat bekerja dan
aku menikmatinya. Punya uang sendiri, menggunakan uang itu semauku sendiri, tak
perlu repot telfon orangtuaku lagi untuk minta kiriman uang. Hmmm... tapi
sebenarnya sebelum lulus kuliah aku juga sudah mulai mengajar di salah satu
Madrasah Aliyah swasta di dekat kampusku (Institut Pertanian Bogor) sambil
menunggu kelulusanku. Namun ternyata aku
tak bertahan lama di pekerjaan itu, banyak faktor yang menjadi alasan dan salah
satunya adalah karena aku mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliah di
Universitas Indonesa mengambil program pasca sarjana. Di masa inilah semuanya akan berubah, termasuk bayangan akan masa
depan yang aku inginkan.
Welcome
to new world, new friends, new campuss, and also new dreams
Di sinilah aku sekarang, bersama
kesibukanku di ruang kuliah. Semua serba baru, kecuali tas dan
baju-bajuku,hehehe. Perjuangan baru meniti persahabatan dengan ibukota. Pada saat
itu, aku bertemu dengan wanita-wanita yang benar-benar mengubahku.
Bu Israyani : wanita yang
menjadi guru ngajiku waktu itu. Ia seorang Ibu rumah tangga dengan kesibukan
yang luar biasa. Salah satunya adalah menjalankan usaha konveksinya. Dari
beliau aku belajar bagaimana menjalankan usaha, membagi waktu dengan keluarga,
dan berusaha ceria saat kondisi sulit menerpa.
Mbak Tatiek : seorang pekerja, single fighter sekaligus ibu
rumah tangga yang cantik dan penuh kelembutan. Aku tak pernah menyangka dapat
bersahabat dengan beliau. Aku pikir itu keberuntungan yang luar biasa. Banyak cerita
yang beliau kisahkan padaku (tentu tak dapat aku sampaikan satu persatu) dan
hampir semuanya memberi hikmah bagiku. Impiannya untuk suatu saat dapat memberdayakan
masyarakat di sekitar tempat tinggalnya adalah salah satu yang paling kuingat. Biidznillah,
sekarang beliau mencapainya. Aku belajar darinya tentang pentingnya kemanfaatan
diri yang harus terus dikembangkan.
Bu Badriyah : seorang ibu
rumah tangga juga, ia juga menjalankan usaha percetakan. Full di rumah, tanpa
ART, dan berhasil mengerjakan semuanya nyaris sempurna. Suami beliau
berpoligini (memiliki 3 orang istri) dan tentu dalam seminggu beliau hanya
punya waktu 2-3 hari saja bersama suami. Urusan rumah tangga beliaulah yang
mengurus. Aku belajar padanya cara menjadi perempuan yang mandiri.
Mbak Lilik : teman
kuliahku, orang sederhana, lembut dan punya banyak sifat yang berkebalikan
denganku. Dari beliaulah aku belajar
meredam banyak sisi negatif dari sifat kolerisku. Belajar untuk tidak
menaklukkan Jakarta, tapi berusaha bersahabat dengannya.
Bu Nok Waliyah: teman kuliahku juga, seorang ibu rumah tangga dan
pengajar di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia mengajariku bagaimana
mendidik anak sejak dini, dan menjadi guru terawal bagi anak-anakku
Mbak Ifo : yang terakhir
ini juga teman kuliahku. Aku juga belajar banyak hal darinya, hal-hal medis
yang harus kita siapkan ketika menikah, cara menghitung masa subur, segala hal
yang berhubungan dengan ibu hamil dan menyusui.
Bersama mereka, bahkan ketika mungkin
mereka tidak menyadarinya, aku seperti berubah status menjadi anak sekolahan
yang kadang duduk anteng mendengarkan penjelasan mereka meskipun lebih sering
membantah dalam beberapa hal.
Dengan mereka, aku mulai menggeser sedikit
demi sedikit cara pandangku tentang masa depan dan menggantinya dengan cara
pandang yang barub. Ginilah kira-kira pelajaran yang aku dapatkan:
- · Pernikahan bukanlah wadah untuk menyelsaikan permasalahan yang aku punya sebelum pernikahan itu. Pernikahan sejatinya hanya menambah masalah saja, tapi bedanya nanti aku akan punya partner yang tidak akan pernah meninggalkan aku ketika aku mendapatkan masalah. Aku harus siap menjalani pernikahan yang tak selalu berlayar di air yang selalu tenang tanpa gelombang.
- · Bukan karir yang menjadikan dirimu menjadi wanita hebat, tapi keluarga yang lahir dari asuhan tanganmu yang membuktikan kehebatanmu.
- · Ketika kau harus bekerja, maka ingatlah bahwa tugas utamamu adalah suami dan anak-anakmu.
- · Menjadi ibu rumah tangga itu bukan pilihan, tapi takdir yang dimiliki oleh setiap wanita, tak peduli apakah ia bekerja ataupun tidak.
- · Jika aku memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja secara formal, maka ada begitu banyak hal yang bisa aku lakukan untuk sekedar mencari uang tambahan.
- · Jadilah perempuan mandiri, tak bergantung kepada siapapun karena aku tak akan pernah tau bagaimana Allah menetapkan takdirku di masa yang akan datang.
Dan inilah impian baruku..... "Aku ingin menjadi perempuan mandiri dan membesarkan anak-anakku nanti dengan tanganku sendiri"
Sampai di sini, di saat belum tamat
menyelesaikan sekolahku bersama mereka, akupun menikah. Dan benar, apa yang mereka ceritakan
benar-benar terjadi. Aku belum 100% siap, tapi aku merasa lebih siap saja
karena sudah punya perbekalan.
Perpindahanku dari Jakarta ke Tangerang
dan dari Tangerang ke Jakarta mengikuti pekerjaan suami membuat aku tak bisa
leluasa untuk mencari pekerjaan. Aku pernah meresakan kegalauan ketika melihat
banyak sekali teman-temanku yang sudah bekerja di tempat yang menjanjikan
kenyamanan.
Aku juga sempat berjuang menacari
pekerjaan, memasukkan lamaran ke berbagai institusi. Pekerjaan mengajar bahasa
inggris di UPT bahasa di kampus IAIN menjadi pilihanku karena aku hanya
mengajar 3x seminggu, dengan waktu kerja di sore hari tepat ketika suamiku
sudah pulang kantor sehingga anakku tak perlu merasa ditelantarkan, dengan
honor Rp. 30.000,-/jam-nya. Lumayan sedikit bisa mengobati kejenuhanku di
rumah. Namun, lagi-lagi pekerjaan ini tak berlangsung lama karena harus aku
akhiri ada tahun 2011 ketika aku harus menemani ibu merawat bapak yang pasca
kecelakaan. Berat rasanya melepas pekerjaan itu, tapi bismillah, kusambut
peuang berbakti kepada orang taku dengan yakin bahwa allah sudah menggariskan
rizkiku.
Selepas itu, kembalilah aku menjadi ibu
rumah tangga biasa, full di rumah dan kebosanan mulai menghampiri. Aku coba
melamar lagi, tapi gagal. Aku sempat putus asa, kehilangan kepercayaan diriku
hingga aku sampai pada pertemuan dengan Allah dalam sebuah doa yang sekaligus
kuanggap perjanjian denganNya. Aku bilang pada Allah,”Ya Allah, oke, aku terima
garis takdirmu jika aku memang harus menjadi fulltime mom, tidak bekerja
kantoran, tidak bergaji tinggi sperti teman-temanku yang lain. Tapi aku minta
engkau menguhkan hatiku, memberi rasa aman padaku, rasa tenang, dan tentu
keikhlasan dalam menjalaninya. Aku tawakkal padaMU, aku sandarkan rizkiku
padaMu.”
Setelah perjanjianku itu, maka believe or
not, Allah membuka satu persatu simpul-simpul mati di hatiku. Aku bertemu
dengan baegitu banyak orang yang menuntuk megajariku memulai usaha, mengelola,
dan mengembangkannya. Hingga tibalah hari ini ketika aku sudah menjadi seperti
ini..... Seorang Ibu rumah Tangga yang kini juga berjualan produk-produk
handmade. Aku menjalaninya dengan kesungguhan, kesyukuran, dan keyakinan bahwa
inilah jalan yang Allah inginkan bagiku, tak ada protes lagi.
Maka nanti ketika ada yang bertanya padaku
perihal statusku sebagai Ibu Rumah Tangga, aku akan menjawab karena aku memilih
untuk jadi begini dan aku berusaha bahagia dengan pilihanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar