Senin, 25 Maret 2013

Aku yang memilih untuk jadi begini


This is me


Suatu saat yang lalu (1)
”Lhah kowe saiki ngajar?”, tanya salah seorang kerabat
”Mboten, teng griyo mawon.” jawabku
”Neng omah wae? Nggur thenguk-thenguk ngono?”
”Nggih, bulek.” jawabku
Suamiku memotong, ”Nggih mboten, Elly nggih dagang kecil-kecilan, mboten thenguk-thenguk mawon kok.”

Suatu saat yang lalu (2)
”Oooo jadi jenengan lulusan S2 to?” Tanya seorang tetanggaku
“Iya, Bu.” jawabku
”Trus sekarang aktifitasnya apa?”
”Ya di rumah saja.”
” Di rumah aja? Gak ada aktifitas lain?”
”Kalo aktifitas lainnya itu dianggap pekerjaan formal, saya memang ndak punya, saya juga ndak punya gaji seperti yang biasa jenengan terima dari tempat kerja jenengan. Tapi, kalo aktifitas lainnya itu adalah bukan yang bernama pekerjaan formal, maka aktifitas saya banyak.”
”Oooo”, kalimat penutup yang ia katakan.

Suatu saat yang lalu (3)
”Wah Bu Ulin ternyata udah lulus S2 ya?”
”Iya, Bu, alhamdulillah.”
”Lhah kenapa gak kerja aja? Sayang loh duitnya udah banyak dikeluarin tapi ndak dipake ijazahnya.”
”Alhamdulillah saya ndak keluar uang banyak karena dulu dapat beasiswa. Alhamdulillah juga dulu sambil kuliah masih bisa kerja paruh waktu, jadi buat makan sehari-hari masih tercukupi. Alhamdulillah juga waktu nikah suami saya ndak minta ijazah sebagai syarat untuk mau menikahi saya. Ijazah saya ada bu di lemari, saya simpan rapi, dilaminating, udah ada legalisirnya juga. Berhubung pelanggan saya belum ada yang minta lihat ijazah saya, jadi ya ndak pernah dikeluarin lagi. Ibu mau lihat?”

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­

Aku hidup di tengah keluarga dimana Ibu dan Bapakku adalah seorang pekerja, lebih tepatnya mereka adalah seorang guru. Bapak adalah guru SMA dan Ibuku adalah guru SD. Aku sangat terbiasa melihat kesibukan Ibu dan Bapak tiap pagi sebelum berangkat mengajar. Bapak bukan tipe suami yang ongkang-ongkang kaki membiarkan istrinya sibuk sendiri. Saat Ibuku memasak, Bapaklah yang memandikan aku dan adik laki-lakiku, memakaikan baju, menyisir rambut kami, menyuapi kami, dan menyiapkan keperluan sekolah kami. Selesai memasak, Ibu mandi, berdandan, dan segera berangkat diantar Bapak menggunakan sepeda motor. Aku dan adikku pergi ke sekolah dan ketika pulang seringkali tak mendapati Ibu sudah berada di rumah.  Ganti baju sendiri sekaligus mengganti baju adik, makan sendiri, dan kemudian berlari keluar untuk bermain. Sering juga terkunci karena Ibu lupa menitipkan kunci hingga kami harus numpang ngadem sebentar di tetangga sebelah sampai Ibu datang. Begitulah setiap hari, aktifitas rutin itu kami lewati, kecuali ketika hari Minggu, waktunya libur dan itu berarti waktunya kami bisa menghabiskan waktu seharian bersama Ibu dan Bapak.

Kelas 2 SMA, usiaku tepat 17 tahun dan aku sudah mulai semi mandiri. Tak lain karena aku diminta membantu mengajar bahasa Inggris di tempat lesku. Senangnya bukan main dan tentu bangga karena tidak banyak teman-temanku yang punya pekerjaan paruh waktu sepertiku. Tiap bulan aku bisa mengantongi uang honor  Rp. 50.000 – Rp. 100.000,- tergantung jumlah kelas yang aku ajar. Di tahun 2000, uang sebanyak itu tentu jumlahnya cukup besar bagi seorang pelajar SMA sepertiku. Uang itu aku tabung supaya nanti waktu kelas 3, aku bisa ikut bimbingan belajar di Surabaya, seperti teman-temanku yang notabene orang tuanya lebih berpunya daripada orang tuaku.

Ketika sampai usiaku yang ke 18 tahun, aku menamatkan pendidikan menengah atasku. Tak ada cita-cita lainnya kecuali masuk perguruan tinggi melalui jalur PMDK, tanpa tes, dan nanti ketika lulus, aku akan menjadi seorang wanita karir, sama persis seperti ibuku. Kemudian bertemu jodohku, punya anak, bekerja, dan menitipkan anakku ke seorang ART. Aku tak heran bila dulu hanya itu yang aku inginkan karena contoh nyataku adalah kehidupan rumah tangga orangtuaku. Bayangan akan masa depanku itu bertahan hingga aku lulus kuliah.

Selepas kuliah S1, aku sempat bekerja dan aku menikmatinya. Punya uang sendiri, menggunakan uang itu semauku sendiri, tak perlu repot telfon orangtuaku lagi untuk minta kiriman uang. Hmmm... tapi sebenarnya sebelum lulus kuliah aku juga sudah mulai mengajar di salah satu Madrasah Aliyah swasta di dekat kampusku (Institut Pertanian Bogor) sambil menunggu kelulusanku.  Namun ternyata aku tak bertahan lama di pekerjaan itu, banyak faktor yang menjadi alasan dan salah satunya adalah karena aku mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliah di Universitas Indonesa mengambil program pasca sarjana. Di masa inilah semuanya  akan berubah, termasuk bayangan akan masa depan yang aku inginkan.

Welcome to new world, new friends, new campuss, and also new dreams

Di sinilah aku sekarang, bersama kesibukanku di ruang kuliah. Semua serba baru, kecuali tas dan baju-bajuku,hehehe. Perjuangan baru meniti persahabatan dengan ibukota. Pada saat itu, aku bertemu dengan wanita-wanita yang benar-benar mengubahku.
Bu Israyani :  wanita yang menjadi guru ngajiku waktu itu. Ia seorang Ibu rumah tangga dengan kesibukan yang luar biasa. Salah satunya adalah menjalankan usaha konveksinya. Dari beliau aku belajar bagaimana menjalankan usaha, membagi waktu dengan keluarga, dan berusaha ceria saat kondisi sulit menerpa.
Mbak Tatiek : seorang pekerja, single fighter sekaligus ibu rumah tangga yang cantik dan penuh kelembutan. Aku tak pernah menyangka dapat bersahabat dengan beliau. Aku pikir itu keberuntungan yang luar biasa. Banyak cerita yang beliau kisahkan padaku (tentu tak dapat aku sampaikan satu persatu) dan hampir semuanya memberi hikmah bagiku. Impiannya untuk suatu saat dapat memberdayakan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya adalah salah satu yang paling kuingat. Biidznillah, sekarang beliau mencapainya. Aku belajar darinya tentang pentingnya kemanfaatan diri yang harus terus dikembangkan.
Bu  Badriyah  : seorang ibu rumah tangga juga, ia juga menjalankan usaha percetakan. Full di rumah, tanpa ART, dan berhasil mengerjakan semuanya nyaris sempurna. Suami beliau berpoligini (memiliki 3 orang istri) dan tentu dalam seminggu beliau hanya punya waktu 2-3 hari saja bersama suami. Urusan rumah tangga beliaulah yang mengurus. Aku belajar padanya cara menjadi perempuan yang mandiri.
Mbak Lilik :  teman kuliahku, orang sederhana, lembut dan punya banyak sifat yang berkebalikan denganku.  Dari beliaulah aku belajar meredam banyak sisi negatif dari sifat kolerisku. Belajar untuk tidak menaklukkan Jakarta, tapi berusaha bersahabat dengannya.
Bu Nok Waliyah: teman kuliahku juga, seorang ibu rumah tangga dan pengajar di salah satu universitas swasta di Jakarta. Ia mengajariku bagaimana mendidik anak sejak dini, dan menjadi guru terawal bagi anak-anakku
Mbak Ifo :  yang terakhir ini juga teman kuliahku. Aku juga belajar banyak hal darinya, hal-hal medis yang harus kita siapkan ketika menikah, cara menghitung masa subur, segala hal yang berhubungan dengan ibu hamil dan menyusui.

Bersama mereka, bahkan ketika mungkin mereka tidak menyadarinya, aku seperti berubah status menjadi anak sekolahan yang kadang duduk anteng mendengarkan penjelasan mereka meskipun lebih sering membantah dalam beberapa hal.
Dengan mereka, aku mulai menggeser sedikit demi sedikit cara pandangku tentang masa depan dan menggantinya dengan cara pandang yang barub. Ginilah kira-kira pelajaran yang aku dapatkan:
  • ·         Pernikahan bukanlah wadah untuk menyelsaikan permasalahan yang aku punya sebelum pernikahan itu. Pernikahan sejatinya hanya menambah masalah saja, tapi bedanya nanti aku akan punya partner yang tidak akan pernah meninggalkan aku ketika aku mendapatkan masalah. Aku harus siap menjalani pernikahan yang tak selalu berlayar di air yang selalu tenang tanpa gelombang.
  • ·         Bukan karir yang menjadikan dirimu menjadi wanita hebat, tapi keluarga yang lahir dari asuhan tanganmu yang membuktikan kehebatanmu.
  • ·         Ketika kau harus bekerja, maka ingatlah bahwa tugas utamamu adalah suami dan anak-anakmu.
  • ·         Menjadi ibu rumah tangga itu bukan pilihan, tapi takdir yang dimiliki oleh setiap wanita, tak peduli apakah ia bekerja ataupun tidak.
  • ·         Jika aku memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja secara formal, maka ada begitu banyak hal yang bisa aku lakukan untuk sekedar mencari uang tambahan.
  • ·         Jadilah perempuan mandiri, tak bergantung kepada siapapun karena aku tak akan pernah tau bagaimana Allah menetapkan takdirku di masa yang akan datang.

Dan inilah impian baruku..... "Aku ingin menjadi perempuan mandiri dan membesarkan anak-anakku nanti dengan tanganku sendiri"

Sampai di sini, di saat belum tamat menyelesaikan sekolahku bersama mereka, akupun menikah.  Dan benar, apa yang mereka ceritakan benar-benar terjadi. Aku belum 100% siap, tapi aku merasa lebih siap saja karena sudah punya perbekalan.
Perpindahanku dari Jakarta ke Tangerang dan dari Tangerang ke Jakarta mengikuti pekerjaan suami membuat aku tak bisa leluasa untuk mencari pekerjaan. Aku pernah meresakan kegalauan ketika melihat banyak sekali teman-temanku yang sudah bekerja di tempat yang menjanjikan kenyamanan.
Aku juga sempat berjuang menacari pekerjaan, memasukkan lamaran ke berbagai institusi. Pekerjaan mengajar bahasa inggris di UPT bahasa di kampus IAIN menjadi pilihanku karena aku hanya mengajar 3x seminggu, dengan waktu kerja di sore hari tepat ketika suamiku sudah pulang kantor sehingga anakku tak perlu merasa ditelantarkan, dengan honor Rp. 30.000,-/jam-nya. Lumayan sedikit bisa mengobati kejenuhanku di rumah. Namun, lagi-lagi pekerjaan ini tak berlangsung lama karena harus aku akhiri ada tahun 2011 ketika aku harus menemani ibu merawat bapak yang pasca kecelakaan. Berat rasanya melepas pekerjaan itu, tapi bismillah, kusambut peuang berbakti kepada orang taku dengan yakin bahwa allah sudah menggariskan rizkiku.
Selepas itu, kembalilah aku menjadi ibu rumah tangga biasa, full di rumah dan kebosanan mulai menghampiri. Aku coba melamar lagi, tapi gagal. Aku sempat putus asa, kehilangan kepercayaan diriku hingga aku sampai pada pertemuan dengan Allah dalam sebuah doa yang sekaligus kuanggap perjanjian denganNya. Aku bilang pada Allah,”Ya Allah, oke, aku terima garis takdirmu jika aku memang harus menjadi fulltime mom, tidak bekerja kantoran, tidak bergaji tinggi sperti teman-temanku yang lain. Tapi aku minta engkau menguhkan hatiku, memberi rasa aman padaku, rasa tenang, dan tentu keikhlasan dalam menjalaninya. Aku tawakkal padaMU, aku sandarkan rizkiku padaMu.”
Setelah perjanjianku itu, maka believe or not, Allah membuka satu persatu simpul-simpul mati di hatiku. Aku bertemu dengan baegitu banyak orang yang menuntuk megajariku memulai usaha, mengelola, dan mengembangkannya. Hingga tibalah hari ini ketika aku sudah menjadi seperti ini..... Seorang Ibu rumah Tangga yang kini juga berjualan produk-produk handmade. Aku menjalaninya dengan kesungguhan, kesyukuran, dan keyakinan bahwa inilah jalan yang Allah inginkan bagiku, tak ada protes lagi.

Maka nanti ketika ada yang bertanya padaku perihal statusku sebagai Ibu Rumah Tangga, aku akan menjawab karena aku memilih untuk jadi begini dan aku berusaha bahagia dengan pilihanku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar