“Kenapa kamu gak nikah aja sama dia? Om pikir, dia
menyukai kamu atau bahkan sudah mencintai barangkali. Buktinya dia sudah
ngejar-ngejar kamu 2 tahun. Ada yang membuatmu ragu?” Om Rudi mulai bertanya
setelah mendengar aku bercerita.
”Apa? Menikah dengan dia, Om? Om nggak serius kan? Vi
rasa itu gak adil, Om.” jawabku lantang.
”Loh, gak adilnya di mana?”
”Oke, anggaplah dugaan om benar bahwa dia menyukaiku,
mencintaiku atau apalah namanya itu. Om mau Vi nikah sama laki-laki itu hanya
karena dia menyukai Vi? Om mau Vi nikah sama laki-laki itu dengan
mempertaruhkan semua perjuangan Vi selama ini? Om mau Vi nikah sama dia
sekaligus mengambil resiko bahwa suatu saat nanti Vi harus siap melihat dia
mengirimkan pesan-pesan indahnya pada perempuan lain? Mungkin dia bisa setia,
Om, tapi tidak pada satu wanita. Mungkin dia menyukai Vi, tapi bukanlah yang
pertama apalagi yang terakhir. Dan perjuangan Vi terlalu berharga untuk
dipertaruhkan.”
”Perjuangan apa, Vi?” kali Om Rudi bertanya lebih serius.
”Laki-laki itu pernah menitipkan hati pada banyak perempuan
lajang sepertiku.”
”Hah?”
***
From : Aditya
Sungguh repot hidup sendiri di perantauan,
jauh dari Bunda, tak ada yang menemani. Setrikaan menumpuk, belum disetrika.
Bisa nggak kasih saran gimana caranya ngerapiin baju-baju itu?
Recieved :
06:56:49 am
Today
Kubaca sms dari Kak Adit sekenanya. Aku tak
kaget, ini bukan pertama kalinya. Puluhan sms berisi puisi cinta dan
rayuan-rayuan indah masih tersimpan di inboxku. aku kadang heran kenapa sampai hari
ini aku masih menyimpannya. Aku rasa aku hanya senang membacanya dan menyadari
bahwa dia ”mengejarku”. Hatiku, sabarlah sebentar, jangan dulu menyerah, ada
hati di seberang sana menunggumu.
***
Hari ini kuliah libur. Aku tak lantas pulang,
aku sempatkan untuk memakai fasilitas gratis dari kampusku untuk menjelajah di
dunia maya. Kubuka Yahoo Messenger, kudapati sebuah pesan yang ditinggalkan 3
menit yang lalu. Kak Aditya, nama pengirim pesan itu. Kakak kelasku saat masih
kuliah S1 dan takdirlah yang membuat kami bertemu lagi di sini, di kampus ini.
Aditya_aja :
Aku boleh bertanya, Vi?
Vee_PW :
Apa?
Aditya_aja :
Lagi proseskah sama seseorang?
Vee_PW :
Nggak, belum, kenapa Kak?
Aditya_aja :
Aku mau Vina jadi istriku? Bersediakah?
Vee_PW : Hmm..ini sudah
kedua kalinya Kak Adit bertanya. Jawabanku masih sama, maaf.
Aditya_aja : Energiku
terlalu banyak terkuras untuk kamu Vin dan aku tak sedikitpun kamu
pertimbangkan. Jujur, aku kecewa.
Vee_PW :Pembahasan
tantang ini sudah selesai dan Vina sudah mempertimbangkannya, maaf Kak, nggak
bisa.
”Kak Adit berhentilah membayangiku. Tidak cukupkah 2
tahun kau siksa batinku. Aku hanya menyukai kata-katamu, puisimu, rayuanmu,
tapi tidak padamu, tidak juga hatimu.” aku hanya bisa berkata dalam hati. Siapa
yang patut dikasihani, aku atau Kak Adit? Ah, sudahlah, aku harus bertahan.
Kumatikan percakapanku dengan Kak Adit via YM.
***
”Ayolah, ikut perjalanan ini sampai akhir.” Bram berusaha
membujukku untuk ikut dalam perjalanannya bersama kawan-kawannya kali ini.
”Aku telpon Ibuku dulu ya, kalau diizinkan, aku akan
ikut, kalau nggak, aku pulang hari ini juga.” jawabku enteng. Apa yang ada di
benak laki-laki manis di hadapanku ini? Sadarkah apa yang ia lakukan barusan?
Rasanya aku seperti baru saja mengenalnya. Sikapnya berbeda.
Di akhir Januari ini aku habiskan liburanku yang tak lama
itu bersama rombongan Bram. Kami tak berdua, banyak kawan-kawannya ikut serta.
Salah satu diantaranya juga kawan baikku. Aku hanya ingin mampir saja di rumah
Rani di Semarang dan itulah alasan utamaku ikut dalam perjalanan mereka.
Rencanaku, setelah itu aku akan langsung pulang ke Surabaya, ke rumah Ibu dan
Bapakku. Kenyataannya, aku membiarkan diriku masuk dalam kehangatan
persahabatan Bram dan kawan-kawannya. Dan ini akan jadi penyesalanku seumur
hidup.
Aku mengenal Bram tiga tahun belakangan ini. Kami kuliah
di kampus yang sama, hanya berbeda fakultas saja. Kami dipertemukan dalam
sebuah organisasi yang sama-sama kami ikuti. Seringkali kami harus bekerjasama
dalam beberapa kepanitiaan. Bram menjadi ketuanya dan aku lebih sering menjadi
sekretarisnya. Pembicaraan kami selalu formal, meski ada juga canda muncul,
tapi sedikit, hanya sedikit. Bram begitu sederhana dan apa adanya karena itu
aku cocok dengannya sebagai teman Menjadi bagian dari perjalanan itu membuatku
merasa mengenal sosok yang berbeda, aku lebih mengenal kebiasaan Bram. Selama
perjalanan itu, Bram sangat memperhatikanku, sangat menjagaku. Tiap kali ia
berjalan melewatiku atau mengajakku berbicara, hatiku berdesir lembut dan aku merasa
hangat. Hati, rasanya aku jatuh cinta.
Aku tak bertepuk sebelah tangan, Bram menyukaiku. Aku
memang tak pernah mendengarnya langsung dari mulut Bram, tapi apa yang ia
ceritakan pada teman-teman dekatku seolah memberiku harapan. Mereka hanya
berpesan padaku, beri Bram waktu untuk berpikir dan menyiapkan segalanya. Bram
butuh ketenangan dulu sebelum memutuskan.
”Sampai berapa lama?” tanyaku penasaran pada Arum.
”Ya sabarlah, Vin. Menikah itu kan bukan perkara mudah,
biarlah Bram tenang dulu. Dan kamu, banyaklah berdoa agar benar jodohmu adalah
Bram.” jawab Arum menenangkanku.
Jodohku sudah dekat, sebulan lagi dan Bram akan datang
padaku. Terima kasih, ya Rabb, akhirnya aku mengakhiri kesendirianku.
***
Perkenalkan,
saya Fauzi. Saya mengenal Vina dari Om Rudi. Jika tidak keberatan, kita ta’aruf
secepatnya.
”Maksud Om apa? Om kenal dengan Fauzi? Apa-apaan sih sms
kayak gitu. Emang dia pikir ta’aruf itu kayak beli baju. Gampang banget
ngomongnya.”
”Sebentar, sebentar, nanti coba om konfirmasi ke
orangnya. Kamu sabar dulu ya, Vin, biar om yang selesaikan ini semua.” Om Rudi
mencoba menenangkanku, tapi rasa marah itu benar-benar tak mampu kubendung.
Aaghrr, makhluk macam apa Fauzi itu? Terlalu polos, tak menarik.
***
”Bram, apa kabar ya? Pernah kontak lagi gak sama dia,
Rum?” tanyaku iseng.
”Belum,
udah lama gak chatting atau sms-an ama dia. Kenapa? Tumben nanyain Bram.”
Arum bukan tak tahu perasaanku pada Bram. Perasaan yang
semakin lama semakin dalam. Aneh, dulu ketika masih di kampus perasaanku tak
pernah seperti ini pada Bram.
”Aku dapat biodata, Rum. Mau lihat nggak? Baca deh,
bilang padaku, apa ada alasanku menolak dia? Namanya Fauzi, kenalan Om-ku. Aku
sudah istikhoroh dan aku menemukan pertanda baik tentang dia. Secara pribadi,
tak ada yang perlu aku khawatirkan. Aku juga sudah bertemu dengannya. Fauzi
sederhana, tak banyak bicara, tenang, dan menurut Om Rudi, orangnya sabar dan
penyayang. Gimana menurutmua?”
Tangan Arum bergetar membaca dua lembar kertas putih yang
kuberikan padanya. Seolah dia yang dituju oleh surat itu. Arum hanya diam.
Dilipatnya kertas berisi biodata Fauzi lalau ia kembalikan padaku. Tangan
kanannya hanya mengelus pundak kananku, helaan nafasnya panjang, matanya
berkaca-kaca.
”Aku berdoa yang terbaik buatmu, Vin. Kalau kamu minta
pertimbanganku, maka jawabanku akan sangat subyektif. Aku sahabat Bram,
sahabatmu juga. Dia baik, kamu juga baik. Tak ada yang lebih aku inginkan
selain kalian bersama. Tapi aku gak tahu apa yang Allah mau buat kalian
berdua.”
”Jadi...?”
”Istikhorohmu yang bisa menjawabnya.
***
”Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam.” jawabku menerima sapaan dari orang
yang sangat kunanti kabarnya belakangan ini.
”Maaf, ganggu malam-malam. Mau minta nomor HP Santi, ada
gak?”
”Ada, nanti aku sms.”
”Oke, makasih ya. Eh, gimana?”
”Apanya yang gimana?”
”Lagi proseskah?”
”Hmmm...doakan aja ya, insyaallah iya. Tapi masih bingung
harus gimana. Belum kasih jawaban. Jujur, gak ada satupun hal yang membuat aku
keberatan menerimanya.”
”Ikuti kata hatimu, Vin. Itu aja. Oke, makasih.
Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam.” aku mengakhiri percakapan
dengan Bram malam itu lewat telpon genggamku. Hanya itu yang kamu ucapkan Bram?
Tak ada perjuangan lagi? Hati, aku kecewa.
***
”Wah, Vin. Tahu nggak Bram bilang apa waktu nerima
undanganmu?” tanya Rivai, teman sekelasku yang kemarin kutitipi undangan untuk
Bram. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Bukan karena aku tak ingin
tahu, tapi aku hanya menjaga hatiku. Bagaimanapun aku akan menikah. Dan Bram
adalah masa laluku.
”Vai, bantu aku mengumpulkan kembali serpihan-serpihan
hatiku yang tercecer. Gitu katanya, Vin. Wah kayaknya Bram patah hati tuh.
Kasian, nasib-nasib.”
Lagi-lagi aku tersenyum dingin menanggapi.
Ahh, rasanya ingin kubungkam mulut Rivai yang telah menyindir Bram. Seandainya
Bram sendiri yang mengatakan itu padaku, mungkin menamparnya adalah langkah
yang tepat menurutku.
***
Malam itu, aku menatap sebuah undangan berwarna hitam,
menggambarkan malam dengan hiasan bintang yang berkilau. Warna yang aneh untuk
sebuah undangan pernikahan. Kubuka dengan hati-hati, sangat hati-hati
seolah-olah aku tak ingin sampai ke halaman yang menampilkan nama calon
mempelai.
Anindya Cahya dan Bram Agustian. Dua nama yang
tak asing buatku. Kubaca dengan detil undangan itu. Beberapa detik berikutnya,
hanya tatapan kosong ditemani hangatnya air mataku. Undanganmu basah, Bram,
beberapa tulisannya memudar. Maafkan aku.
Sebenarnya ada nama lain, Vin. Bukan Anin.
Tapi mungkin wanita itu terlalu baik untukku. Aku berharap banyak padanya, tapi
ternyata takdir berkata lain. Aku terus beristikhoroh dan hanya nama Anin yang
membuatku tenang. Dia juga akan menikah, Vin, tak lama lagi.
Recieved
07:34:12 pm
Today
From : Bram Agustian
Ah Bram, kamu sama saja dengan Kak Adit. Hanya menitipkan
rasa pada sebuah hati yang begitu berharap cinta yang suci. Tahukah kau betapa
perih menjadi alternatif pilihanmu bahkan ketika aku saat itu hanya menjadikanmu
satu-satunya pilihanku.
Jika takdir telah digariskan, maka kemana lagi
wajahmu akan kau hadapkan selain pada masa depan yang Allah janjikan. Kamu akan
bahagia dengannya, percayalah. Doaku menyertaimu.
Sent
08:36:50 pm
Today
Messege delivered
Bram Agustian