“Nduk, tolong bilang ke suamimu, maaf ya ibu ngerepotin. Ditinggal
sendiri di rumah.” Sore itu, tiba-tiba ibu mengajak berbicara. Meminta maaf untuk sesuatu
yang sangat biasa.
Ibu merasa sungkan karena saya harus
berada di rumah ibu di Madura, meninggalkan suami sendiri di Semarang. Bukan
tanpa alasan, saya harus membantu ibu merawat bapak pasca kecelakaan. Bapak
sempat koma karena mengalami gegar otak sedang.
Saya sadar bapak memerlukan waktu yang
lama untuk pulih kembali. Sehingga saya memutuskan untuk berhenti dari
aktifitas mengajar di UPT Bahasa IAIN Walisongo. Alhamdulillah suami
mengizinkan.
Jujur, tak ada yang lebih saya inginkan
waktu itu kecuali berada di samping bapak, merawat beliau secara langsung di
rumah sakit. Namun, saya memiliki
seorang putra yang waktu itu usianya masih 13 bulan. Akhirnya, saya hanya
berada di rumah ibu, mengurus rumah, sementara ibu dan adik saya yang merawat
bapak di rumah sakit.
Setelah satu bulan bapak dirawat,
akhirnya kondisi bapak mulai pulih. Bapak diperbolehkan pulang ke rumah.
Sebagian ingatan bapak hilang, tapi kami tetap bersyukur, bapak selamat.
Selama di rumah, bapak terus melatih
fisiknya agar kembali normal. Tangan, kaki, dan mata sebelah kanan agak
terganggu akibat stroke ringan. Bapak tak kenal menyerah kecuali jika kepalanya
mulai pusing atau napasnya mulai terengah-engah.
Dengan kondisi yang belum stabil itu,
maka banyak hal yang tidak bisa dilakukan bapak sendiri. Makan, minum, mandi,
hampir semuanya membutuhkan bantuan. Saya menikmati betul hari-hari itu seolah
menemukan waktu untuk membalas kebaikan bapak yang berlimpah, meski tak akan
pernah bisa melunasinya.
Sakitnya bapak membuat saya bisa
berlama-lama di dekat bapak dan ibu. Momen yang paling membahagiakan buat saya
adalah ketika membantu bapak untuk makan. Saya menyuapi bapak sedikit demi
sedikit. Biasanya perlu waktu 30 menit untuk aktifitas makannya.
Sesekali kami berbincang, bernostalgia
tentang kisah yang lalu. Seolah menjadi pengobat sakitnya, bapak selalu tersenyum
setiap menceritakan masa kecil saya. Rasa ”kehilangan” ketika hari pernikahan
saya, juga bapak ceritakan.
Sambil menyuapi, saya sesekali
memperhatikan wajah bapak. Rambutnya sebagian besar sudah memutih, kerut
wajahnya makin jelas. Ah, bapak sudah setua itukah sekarang?
Saya semakin menyadari betapa banyak
waktu yang terlewatkan tanpa saya di samping bapak. Menjadi dewasa dan kemudian
pergi meninggalkan orang tua. Hanya mendengar suka diantara duka yang mungkin
tersimpan. Melewatkan rasa lelahnya menafkahi keluarga kami.
Tiba-tiba saya bersyukur, Allah masih
memberi waktu bagi saya dan suami untuk merawat bapak. Mengingatkan saya
tentang hutang yang belum terbayarkan pada orang tua. Hutang yang mereka tak akan pernah menaginya kepada seorang anak karena rasa cintanya yang tulus
sedih bacanya...*hiks
BalasHapusmoga2 bapaknya cepet sembuh ya
BalasHapusterharu banget....
BalasHapusMudah2an bapaknya cepet sembuh ya
BalasHapusYa Alloh moga segera diberi kesembuha
BalasHapus