Kamis, 11 April 2013

Bukan Di Hatiku


“Kenapa kamu gak nikah aja sama dia? Om pikir, dia menyukai kamu atau bahkan sudah mencintai barangkali. Buktinya dia sudah ngejar-ngejar kamu 2 tahun. Ada yang membuatmu ragu?” Om Rudi mulai bertanya setelah mendengar aku bercerita.
”Apa? Menikah dengan dia, Om? Om nggak serius kan? Vi rasa itu gak adil, Om.” jawabku lantang.
”Loh, gak adilnya di mana?”
”Oke, anggaplah dugaan om benar bahwa dia menyukaiku, mencintaiku atau apalah namanya itu. Om mau Vi nikah sama laki-laki itu hanya karena dia menyukai Vi? Om mau Vi nikah sama laki-laki itu dengan mempertaruhkan semua perjuangan Vi selama ini? Om mau Vi nikah sama dia sekaligus mengambil resiko bahwa suatu saat nanti Vi harus siap melihat dia mengirimkan pesan-pesan indahnya pada perempuan lain? Mungkin dia bisa setia, Om, tapi tidak pada satu wanita. Mungkin dia menyukai Vi, tapi bukanlah yang pertama apalagi yang terakhir. Dan perjuangan Vi terlalu berharga untuk dipertaruhkan.”
”Perjuangan apa, Vi?” kali Om Rudi bertanya lebih serius.
”Laki-laki itu pernah menitipkan hati pada banyak perempuan lajang sepertiku.”
”Hah?”
***
From : Aditya
Sungguh repot hidup sendiri di perantauan, jauh dari Bunda, tak ada yang menemani. Setrikaan menumpuk, belum disetrika. Bisa nggak kasih saran gimana caranya ngerapiin baju-baju itu?

Recieved :
06:56:49 am
Today
Kubaca sms dari Kak Adit sekenanya. Aku tak kaget, ini bukan pertama kalinya. Puluhan sms berisi puisi cinta dan rayuan-rayuan indah masih tersimpan di inboxku. aku kadang heran kenapa sampai hari ini aku masih menyimpannya. Aku rasa aku hanya senang membacanya dan menyadari bahwa dia ”mengejarku”. Hatiku, sabarlah sebentar, jangan dulu menyerah, ada hati di seberang sana menunggumu.
***
Hari ini kuliah libur. Aku tak lantas pulang, aku sempatkan untuk memakai fasilitas gratis dari kampusku untuk menjelajah di dunia maya. Kubuka Yahoo Messenger, kudapati sebuah pesan yang ditinggalkan 3 menit yang lalu. Kak Aditya, nama pengirim pesan itu. Kakak kelasku saat masih kuliah S1 dan takdirlah yang membuat kami bertemu lagi di sini, di kampus ini.
Aditya_aja           : Aku boleh bertanya, Vi?
Vee_PW               : Apa?
Aditya_aja           : Lagi proseskah sama seseorang?
Vee_PW               : Nggak, belum, kenapa Kak?
Aditya_aja           : Aku mau Vina jadi istriku? Bersediakah?
Vee_PW               : Hmm..ini sudah kedua kalinya Kak Adit bertanya. Jawabanku masih sama, maaf.
Aditya_aja           : Energiku terlalu banyak terkuras untuk kamu Vin dan aku tak sedikitpun kamu pertimbangkan. Jujur, aku kecewa.
Vee_PW               :Pembahasan tantang ini sudah selesai dan Vina sudah mempertimbangkannya, maaf Kak, nggak bisa.
”Kak Adit berhentilah membayangiku. Tidak cukupkah 2 tahun kau siksa batinku. Aku hanya menyukai kata-katamu, puisimu, rayuanmu, tapi tidak padamu, tidak juga hatimu.” aku hanya bisa berkata dalam hati. Siapa yang patut dikasihani, aku atau Kak Adit? Ah, sudahlah, aku harus bertahan. Kumatikan percakapanku dengan Kak Adit via YM.
***
”Ayolah, ikut perjalanan ini sampai akhir.” Bram berusaha membujukku untuk ikut dalam perjalanannya bersama kawan-kawannya kali ini.
”Aku telpon Ibuku dulu ya, kalau diizinkan, aku akan ikut, kalau nggak, aku pulang hari ini juga.” jawabku enteng. Apa yang ada di benak laki-laki manis di hadapanku ini? Sadarkah apa yang ia lakukan barusan? Rasanya aku seperti baru saja mengenalnya. Sikapnya berbeda.
Di akhir Januari ini aku habiskan liburanku yang tak lama itu bersama rombongan Bram. Kami tak berdua, banyak kawan-kawannya ikut serta. Salah satu diantaranya juga kawan baikku. Aku hanya ingin mampir saja di rumah Rani di Semarang dan itulah alasan utamaku ikut dalam perjalanan mereka. Rencanaku, setelah itu aku akan langsung pulang ke Surabaya, ke rumah Ibu dan Bapakku. Kenyataannya, aku membiarkan diriku masuk dalam kehangatan persahabatan Bram dan kawan-kawannya. Dan ini akan jadi penyesalanku seumur hidup.
Aku mengenal Bram tiga tahun belakangan ini. Kami kuliah di kampus yang sama, hanya berbeda fakultas saja. Kami dipertemukan dalam sebuah organisasi yang sama-sama kami ikuti. Seringkali kami harus bekerjasama dalam beberapa kepanitiaan. Bram menjadi ketuanya dan aku lebih sering menjadi sekretarisnya. Pembicaraan kami selalu formal, meski ada juga canda muncul, tapi sedikit, hanya sedikit. Bram begitu sederhana dan apa adanya karena itu aku cocok dengannya sebagai teman Menjadi bagian dari perjalanan itu membuatku merasa mengenal sosok yang berbeda, aku lebih mengenal kebiasaan Bram. Selama perjalanan itu, Bram sangat memperhatikanku, sangat menjagaku. Tiap kali ia berjalan melewatiku atau mengajakku berbicara, hatiku berdesir lembut dan aku merasa hangat. Hati, rasanya aku jatuh cinta.
Aku tak bertepuk sebelah tangan, Bram menyukaiku. Aku memang tak pernah mendengarnya langsung dari mulut Bram, tapi apa yang ia ceritakan pada teman-teman dekatku seolah memberiku harapan. Mereka hanya berpesan padaku, beri Bram waktu untuk berpikir dan menyiapkan segalanya. Bram butuh ketenangan dulu sebelum memutuskan.
”Sampai berapa lama?” tanyaku penasaran pada Arum.
”Ya sabarlah, Vin. Menikah itu kan bukan perkara mudah, biarlah Bram tenang dulu. Dan kamu, banyaklah berdoa agar benar jodohmu adalah Bram.” jawab Arum menenangkanku.
Jodohku sudah dekat, sebulan lagi dan Bram akan datang padaku. Terima kasih, ya Rabb, akhirnya aku mengakhiri kesendirianku.
***
Perkenalkan, saya Fauzi. Saya mengenal Vina dari Om Rudi. Jika tidak keberatan, kita ta’aruf secepatnya.
”Maksud Om apa? Om kenal dengan Fauzi? Apa-apaan sih sms kayak gitu. Emang dia pikir ta’aruf itu kayak beli baju. Gampang banget ngomongnya.”
”Sebentar, sebentar, nanti coba om konfirmasi ke orangnya. Kamu sabar dulu ya, Vin, biar om yang selesaikan ini semua.” Om Rudi mencoba menenangkanku, tapi rasa marah itu benar-benar tak mampu kubendung. Aaghrr, makhluk macam apa Fauzi itu? Terlalu polos, tak menarik.
***
”Bram, apa kabar ya? Pernah kontak lagi gak sama dia, Rum?” tanyaku iseng.
”Belum, udah lama gak chatting atau sms-an ama dia. Kenapa? Tumben nanyain Bram.”
Arum bukan tak tahu perasaanku pada Bram. Perasaan yang semakin lama semakin dalam. Aneh, dulu ketika masih di kampus perasaanku tak pernah seperti ini pada Bram.
”Aku dapat biodata, Rum. Mau lihat nggak? Baca deh, bilang padaku, apa ada alasanku menolak dia? Namanya Fauzi, kenalan Om-ku. Aku sudah istikhoroh dan aku menemukan pertanda baik tentang dia. Secara pribadi, tak ada yang perlu aku khawatirkan. Aku juga sudah bertemu dengannya. Fauzi sederhana, tak banyak bicara, tenang, dan menurut Om Rudi, orangnya sabar dan penyayang. Gimana menurutmua?”
Tangan Arum bergetar membaca dua lembar kertas putih yang kuberikan padanya. Seolah dia yang dituju oleh surat itu. Arum hanya diam. Dilipatnya kertas berisi biodata Fauzi lalau ia kembalikan padaku. Tangan kanannya hanya mengelus pundak kananku, helaan nafasnya panjang, matanya berkaca-kaca.
”Aku berdoa yang terbaik buatmu, Vin. Kalau kamu minta pertimbanganku, maka jawabanku akan sangat subyektif. Aku sahabat Bram, sahabatmu juga. Dia baik, kamu juga baik. Tak ada yang lebih aku inginkan selain kalian bersama. Tapi aku gak tahu apa yang Allah mau buat kalian berdua.”
”Jadi...?”
”Istikhorohmu yang bisa menjawabnya.

***
”Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam.” jawabku menerima sapaan dari orang yang sangat kunanti kabarnya belakangan ini.
”Maaf, ganggu malam-malam. Mau minta nomor HP Santi, ada gak?”
”Ada, nanti aku sms.”
”Oke, makasih ya. Eh, gimana?”
”Apanya yang gimana?”
”Lagi proseskah?”
”Hmmm...doakan aja ya, insyaallah iya. Tapi masih bingung harus gimana. Belum kasih jawaban. Jujur, gak ada satupun hal yang membuat aku keberatan menerimanya.”
”Ikuti kata hatimu, Vin. Itu aja. Oke, makasih. Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam.” aku mengakhiri percakapan dengan Bram malam itu lewat telpon genggamku. Hanya itu yang kamu ucapkan Bram? Tak ada perjuangan lagi? Hati, aku kecewa.

***

”Wah, Vin. Tahu nggak Bram bilang apa waktu nerima undanganmu?” tanya Rivai, teman sekelasku yang kemarin kutitipi undangan untuk Bram. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Bukan karena aku tak ingin tahu, tapi aku hanya menjaga hatiku. Bagaimanapun aku akan menikah. Dan Bram adalah masa laluku.
”Vai, bantu aku mengumpulkan kembali serpihan-serpihan hatiku yang tercecer. Gitu katanya, Vin. Wah kayaknya Bram patah hati tuh. Kasian, nasib-nasib.”
Lagi-lagi aku tersenyum dingin menanggapi. Ahh, rasanya ingin kubungkam mulut Rivai yang telah menyindir Bram. Seandainya Bram sendiri yang mengatakan itu padaku, mungkin menamparnya adalah langkah yang tepat menurutku.

***

Malam itu, aku menatap sebuah undangan berwarna hitam, menggambarkan malam dengan hiasan bintang yang berkilau. Warna yang aneh untuk sebuah undangan pernikahan. Kubuka dengan hati-hati, sangat hati-hati seolah-olah aku tak ingin sampai ke halaman yang menampilkan nama calon mempelai.
Anindya Cahya dan Bram Agustian. Dua nama yang tak asing buatku. Kubaca dengan detil undangan itu. Beberapa detik berikutnya, hanya tatapan kosong ditemani hangatnya air mataku. Undanganmu basah, Bram, beberapa tulisannya memudar. Maafkan aku.
Sebenarnya ada nama lain, Vin. Bukan Anin. Tapi mungkin wanita itu terlalu baik untukku. Aku berharap banyak padanya, tapi ternyata takdir berkata lain. Aku terus beristikhoroh dan hanya nama Anin yang membuatku tenang. Dia juga akan menikah, Vin, tak lama lagi.

Recieved
07:34:12 pm
Today
From : Bram Agustian

Ah Bram, kamu sama saja dengan Kak Adit. Hanya menitipkan rasa pada sebuah hati yang begitu berharap cinta yang suci. Tahukah kau betapa perih menjadi alternatif pilihanmu bahkan ketika aku saat itu hanya menjadikanmu satu-satunya pilihanku.
Jika takdir telah digariskan, maka kemana lagi wajahmu akan kau hadapkan selain pada masa depan yang Allah janjikan. Kamu akan bahagia dengannya, percayalah. Doaku menyertaimu.

Sent
08:36:50 pm
Today
Messege delivered
Bram Agustian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar