Selasa, 23 April 2013

Hutang Yang Tak Dapat Terbayarkan


“Nduk, tolong bilang ke suamimu, maaf ya ibu ngerepotin. Ditinggal sendiri di rumah.” Sore itu, tiba-tiba ibu mengajak berbicara. Meminta maaf untuk sesuatu yang sangat biasa.
Ibu merasa sungkan karena saya harus berada di rumah ibu di Madura, meninggalkan suami sendiri di Semarang. Bukan tanpa alasan, saya harus membantu ibu merawat bapak pasca kecelakaan. Bapak sempat koma karena mengalami gegar otak sedang.
Saya sadar bapak memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Sehingga saya memutuskan untuk berhenti dari aktifitas mengajar di UPT Bahasa IAIN Walisongo. Alhamdulillah suami mengizinkan.
Jujur, tak ada yang lebih saya inginkan waktu itu kecuali berada di samping bapak, merawat beliau secara langsung di rumah sakit. Namun,  saya memiliki seorang putra yang waktu itu usianya masih 13 bulan. Akhirnya, saya hanya berada di rumah ibu, mengurus rumah, sementara ibu dan adik saya yang merawat bapak di rumah sakit.
Setelah satu bulan bapak dirawat, akhirnya kondisi bapak mulai pulih. Bapak diperbolehkan pulang ke rumah. Sebagian ingatan bapak hilang, tapi kami tetap bersyukur, bapak selamat.
Selama di rumah, bapak terus melatih fisiknya agar kembali normal. Tangan, kaki, dan mata sebelah kanan agak terganggu akibat stroke ringan. Bapak tak kenal menyerah kecuali jika kepalanya mulai pusing atau napasnya mulai terengah-engah.
Dengan kondisi yang belum stabil itu, maka banyak hal yang tidak bisa dilakukan bapak sendiri. Makan, minum, mandi, hampir semuanya membutuhkan bantuan. Saya menikmati betul hari-hari itu seolah menemukan waktu untuk membalas kebaikan bapak yang berlimpah, meski tak akan pernah bisa melunasinya.
Sakitnya bapak membuat saya bisa berlama-lama di dekat bapak dan ibu. Momen yang paling membahagiakan buat saya adalah ketika membantu bapak untuk makan. Saya menyuapi bapak sedikit demi sedikit. Biasanya perlu waktu 30 menit untuk aktifitas makannya.
Sesekali kami berbincang, bernostalgia tentang kisah yang lalu. Seolah menjadi pengobat sakitnya, bapak selalu tersenyum setiap menceritakan masa kecil saya. Rasa ”kehilangan” ketika hari pernikahan saya, juga bapak ceritakan.
Sambil menyuapi, saya sesekali memperhatikan wajah bapak. Rambutnya sebagian besar sudah memutih, kerut wajahnya makin jelas. Ah, bapak sudah setua itukah sekarang?
Saya semakin menyadari betapa banyak waktu yang terlewatkan tanpa saya di samping bapak. Menjadi dewasa dan kemudian pergi meninggalkan orang tua. Hanya mendengar suka diantara duka yang mungkin tersimpan. Melewatkan rasa lelahnya menafkahi keluarga kami.
Tiba-tiba saya bersyukur, Allah masih memberi waktu bagi saya dan suami untuk merawat bapak. Mengingatkan saya tentang hutang yang belum terbayarkan pada orang tua. Hutang yang mereka tak akan pernah menaginya kepada seorang anak karena rasa cintanya yang tulus

5 komentar: